Kamis, 21 April 2011

Wardah's Quotation

Ketika hasil dari proses sebuah sebuah usaha masih saja diam di titik NOL, eksistansi MIMPI membuatku bertahan. Percaya pada KEAJAIBAN TUHAN pada KEKUATAN alam bawah sadar yang entah itu nanti, lusa atau esok hari akan menjawab segala HARAPAN jadi KENISCAYAAN -didowardah-

Tentang Rangga II

Rangga,
aku bahkan sudah terbiasa
Menyaksikan seorang dia:mengkultuskan namamu tanpa jeda
Dan aku mungkin kan terbiasa: jika harus melepasmu -lagi- pergi bersamanya
Begitulah,
Kerna mencintaimu adalah anugrah
Untuk kemudian lamat-lamat kubisikkan dengan purna pelafalan
Bahwa renjana kita adalah litania syukur atas penciptaan yg Esa pada satu kata KESETIAAN
itu saja

-TSA-

Tentang Rangga I

Rangga,
Begitu banyak kenangan mengasapi kisah kita
Pernah aku sebegitu setia mnantimu di ujung Fajar
Lalu,
kau malah bergandengan tangan menatap senja
Dan saat akhirnya kau deklarasikan 3 kata dengan terbata
Haruskah seperti Al-fatihah di tiap-tiap sholat?
Hingga wajib kurapal lagi tilawah cinta untuk sekedar menjawab:
Bahwa redam-rinduku tak pernah lekang oleh waktu
Bahwa mencintaimu adalah nafas bagi jasadku
Haruskah?

KARTINIKARTINI

HINGGA terik ini,
Dibukanya surat terlipat yang semalam sampai di pelataran:
.
MALAM KARTINI-KARTINI
Yang berserak di remangnya: perempuan-perempuan dijalan-jalan
Terlihat sumringah tertawa-tawa
Tetapi tidak dengan hatinya: mereka sekarat lamat-lamat
MEREKA: kartini-kartini

Selasa, 19 April 2011

My Best ever Mom, My Inspiration..

Saya anak ke-2 dari 4 bersaudara, dengan tanggal lahir tepat 3 hari pasca perayaan Hari Kartini. Saya bersyukur bahwa saya terlahir dari seorang Bunda yang berhati malaikat dan bermental baja. Bunda adalah sosok Kartini sejati masakini. Terlahir dari keluarga sederhana kira-kira 45 tahun yang lalu. Seperti adat-istiadat pada saat itu, Bunda hanya menyelesaikan pendidikan SD dan dipingit sambil menunggu dinikahkan. Bukan dengan lelaki Bangsawan melainkan duda beranak enam yang sakit-sakitan. “Dia lelaki terbaik pilihan Bapak yang mampu mengayomimu Mumba” Demikian ujar Kakeku dulu. Bunda mengiyakan saja. Waktu itu usianya bahkan baru genap 14 tahun. Saya tau, Bunda pasti ingin sekolah. Mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya wanita Bangsa Eropa. Tapi Bunda sibuk, ia terlalu sibuk menjadi Ibu Rumah Tangga dan menjadi Abdi bagi suaminya, seorang lelaki yang kusebut Ayah.

Meski usianya dibilang terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu, Bunda begitu luwes dalam mendidik kami anak-anaknya. Masih teringat dengan jelas, bagaimana Bunda mengajarkan kami membaca disela kesibukannya. Itulah sebabnya meski tak satupun dari kami yang berijazah TK, diusia 4 tahun kami sudah lancar membaca, bahkan untuk huruf Hijaiyah. Majalah dan buku-buku selalu ada buat kami. Tapi Bunda melarang kami menonton Televisi kecuali hari Minggu. Ya, bahkan jauh-jauh hari Bunda sudah tau sisi negatif dari sebuah TV. Kini saya baru sadar betapa Bunda telah menanamkan kebiasan positif MEMBACA pada anak-anaknya.

Hingga dibangku SD Bunda tetap menjadi Kartini terbaik kami anak-anaknya. Bagaimana tidak? Bahkan Bunda yang hanya lulusan SD bisa menunjukan kemampuannya untuk menjalankan pekerjaan mulia. Ya, Bunda mengabdi sebagai Guru di SD swasta. Saya baru sadar betapa mulia tugasnya. Mengajar tanpa dibayar. Rela berpeluh menuju Sekolah. Bahkan, pasca melahirkan adik bungsu kami, Bunda masih tetap mengajar dengan menggendong bayi. Di ruang kelas, Bunda tak kehabisan akal, dibuatkannya ayunan untuk adik bayi supaya ia bisa konsen mengajar. Bunda tidak menuntut untuk bisa cuti. Aktivitasnya selalu sama. Berpagi-pagi Bunda bangun, memasakan kami anak-anaknya untuk kemudian kesekolah hingga Surya meninggi. Dan dirumah pekerjaan lain telah menanti.

Bunda juga begitu kreatif, ia selalu menyempatkan berkarya dengan kegiatan positif. Selain menjahit, menyulam, merenda, meronce, memasak dan membuat kue biasa dilakoninya. Disela kesibukannya bahkan Bunda selalu membuatkan baju-baju, topi dan segala macam peralatan bayi dengan tangannya sendiri. Bungkus permen, sedotan dan tali plastik pun bisa disulapnya menjadi hiasan bunga yang indah. Pernah Bunda menyelesaikan bunga raksasa dari tali rafia 3 meter tingginya yang membutuhkan waktu hampir 9 bulan. Dianyamnya tali demi tali satu persatu, setelah jadi beraneka jenis bunga warna warni,dari mawar, anyelir, sepatu, sampai matahari, maka dirangkai sendiri hingga bunga tegak menjulang sempurna. Saya yang masih terlalu kecil tak pernah merasa bahwa itu luar bisa. Yang saya tahu, bahwa rumah kami beda, karena disetiap sudut penuh dengan hiasan karya Bunda.

Disaat panen tiba, Bunda menjadi perkasa. Betapa tidak, Bunda sendiri yang mengangkat padi-padi untuk kemudian dijemur,digiling dan ditanak menjadi nasi. Kulitnya yang putih dibiarkannya terbakar Matahari. Meskipun Ayah masih ada waktu itu. Tapi kami tahu, Ayah terlalu ringkih untuk bekerja berat. Asmanya pasti kumat kalau harus berjibaku dengan panas dan debu. “Biar Mas.. saya saja yang membereskan, nanti kalau Mas sakit lagi kan saya yang repot” begitu kata Bunda kalau sekali waktu pernah kulihat Ayah mau membantu. Dan yang tak pernah kulupakan, ketika sedang menjemur Padi, Bunda menungguinya dengan tidak duduk manis, melainkan ada saja aktivitas yang dilakukaknnya, baik itu membersihkan halaman, menyulam atau sekedar membaca. Begitulah, Bunda mampu menjadi Kartini sejati yang sadar terhadap fitrahnya. Baik sebagai istri dan ibu namun menyimpan semangat kemajuan yang melampaui adatnya.

Dan meski Bunda tidak pernah mengeyam pendidikan kesehatan. Bunda mampu menjadi dokter 24-jam penuh bagi Ayah. Penyakit Ayah yang semakin parah tidak pernah menyurutkan semangat Bunda untuk selau melayaninya. Bunda yang ayu, kadang terlihat lelah dan kuyu. Kalau sudah begitu, kami sudah mafhum, Bunda pasti sudah begadang semalaman buat menunggui Ayah. Memberikan segala macam jamu-jamuan buat kesembuhannya. Menebus obat ke kota di setiap minggunya. Bunda begitu tegar, begitu sabar. Sampai akhirnya ajal merenggut nyawa Ayah, tak pernah kulihat Bunda menangis. Yang kusaksikan, kecupan Bunda terakhir buat Ayah untuk kemudian mengajikan kepergiannya hingga genap 100hari. Dan terkait nasib kami anak-anaknya, Bunda selalu meyakinkan "Saya pasti bisa menyekolahkan anak-anaku kejenjang yang lebih tinggi". Bunda selalu tersenyum dan memberikan semangat disaat kami rapuh. Sekalipun belum pernah saya melihat Bunda mengeluh. Melainkan sujud panjang di bentang sajadahnya yang lusuh. Bunda mampu tegak berdiri meski harus menghidupi empat anak-anaknya. Demi menambah uang pensiun Ayah yang pas-pasan, Bunda rela menjadi tukang Jahit pakaian, menjadi buruh upahan, apapun dijalaninya. Tak sedikitpun ada keinginan untuk menikah. Anak-anak adalah prioritasnya. Yang diinginkan adalah keberhasilan kami, anak-anaknya. Dan sekarang terbayar sudah. Ucapannya, tekadnya, impiannya, telah dijawab oleh semesta. Bahwa benar adanya, setiap sesuatu berawal dari MIMPI. Bunda telah membuktikannya.

Ya, tanpa terasa 11 tahun berlalu. Mungkin sekarang adalah hari LEBARAN bagi Bunda. Setelah sekian lama BERPUASA dan membanting tulang demi cita anak-anaknya dengan tanpa lelah, tanpa jeda. Hingga mengantarkan kami ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kakakku yang tertua kini menyelesaikan gelar Doktor Antropologi-nya di negeri Holland. Saya berhasil menjadi Wisudawati terbaik dibidang Sastra. Lalu adikku yang juga sukses menyelesaikan pendidikan Akuntansinya. Dan si bungsu yang sebentar lagi kelar SMA. Lucunya, ketika Bunda ditanya tetangga tentang sekolah Kakak, dengan antusias Bunda akan menjawab: ‘Di london, Belanda’ dan tetangganya pun manggut-manggut saja. Ya, Bunda selalu keliru dengan menyebutkan ‘Leiden’ tempat Universitas Kakak menjadi ‘London’ ibukota Inggris.

Dan sekarang meski tinggal terpisah ribuan kilo jauhnya, saya tetap merasa dekat dengan Bunda. Saya tidak pernah absen untuk selalu menelponnya. Meski hanya lewat suaranya, Bunda selalu bisa membuat hariku luap warna. Entahlah, sulit rasanya berdusta pada Bunda. Mungkin karna saya terbiasa mengungkapkan redup-pendar hatiku padanya. Sampai suatu hari, ketika Bunda tahu bahawa pekerjaanku berjarak cukup jauh. Bunda menawariku untuk membelikan sepeda. Tapi aku tidak mau merepotkan Bunda. Maka tabunganku yang Cuma 10 juta aku belikan Honda Beat impianku. Bisa ditebak, Bundalah yang membayar sisanya. Dijualnya hasil panen tahun ini untuk menombokinya. Aku merasa jadi anak paling durhaka. Tapi begitulah Bunda, selalu memberi dengan senyum ikhlas tak terperi. Bunda adalah teman yang selalu ada buat berbagi. Adalah pendengar yg baik, sosok wanodya yg tegar lagi cantik. Memang Bunda adalah sosok sederhana yang juga berpikiran “sederhana”, tapi itulah Bunda yang justru dengan ke-sederhanaan-nya menjadikan dia pribadi yang luar biasa. Dalam keterkungkungan jiwa, Bunda mampu menjadi sosok bebas yang bertanggung jawab, Bunda menunjukan bahwa keterkungkungan seorang perempuan hanya bisa memenjarakan badan, tapi tidak dengan jiwanya. Kalau tidak, tentulah semangat Bunda tidak akan pernah mampu menginspirasi. Saya berharap bisa seperti Bunda, menjadi sosok Kartini yang hebat luarbiasa. SEMOGA.

Dan ah, Bunda, entah bagaimana aku harus berterima kasih padamu.. U are just the best of the best!! Hanya lima kata cekat ditenggorokan yang mampu ku ucapkan: I’m proud of having u.. T_T

>> Untuk semua Kartini Indonesia.. Semua perempuan hebat yang menginspirasi anak-anaknya.. [Malang, 17 April 2011]

Minggu, 07 Maret 2010

AKU JUGA BISA

Dan aku juga bisa
Duduk pongah laiknya Cleopatra,
Mengunci pintu-pintu dibilik hatiku
pada tiap-tiap Kaisar Roma yang mendobrak paksa
Meski letih tubuhku tuk terus bertumpu
pada gemetar lutut kakiku
Demi menyaksikan hujan aksioma
yang tak jua reda
Tentang naif sabdamu
yang kau bisikan lewat pekat asap perapian,
Lalu mirisnya syair lamamu
yang masih saja terperangkap cinta gila pada dua perempuan
Maka aku juga bisa,
Tegak penuh hentak dihadpmu
Untuk sekedar bilang:TIDAK

DIAM

Aku diam kerna aku tak ingin bicara
Kerna begitu nikmatnya kusantap hening
Hening yang meneduhkan segala genting
Lalu kau bilang diamku takkan bisa meyelesaikan masalah
Tapi bagiku diam menjawab dengan seribu bahasa
Pernah ku saksikan mulut-mulut simbah busa
Dengan sembur kata-kata,
yang meluapkan banyak bisa
Dan ah,
dengan banyak bicara kau terlihat merana
Dan dalam diamku biar kumaknai semesta
Biar