Kamis, 07 Januari 2010

Optimis

Kali ini puaskan dahagamu kawan!
Reguk teguk seluruh isi bejana
yang kukirim lewat pijar mentari pagi ini
Cecaplah tiap tetesnya
hingga kau sadar bahwa kenyataan lebih indah
dari sekedar larut dalam pintalan asa yang tak berkesudahan
dan jangan pernah menoleh kebelakang
sebab apa-apa yang kau punya saat ini,
jauh lebih berharga dari sepenggal masa lalu
yang lamat-lamat tersapu waktu
Sungguh,
Jangan biarkan ia berdegup hidup dalam kenangmu,
menghantuimu,
JANGAN PERNAH!

BAHAGIA

Terlalu naif untuk menjadi khanif
Terlalu senja untuk sekedar merasa
Bahwa sejatinya aku berseri dengan bisa berbagi
Bahwa adalah aku selaiknya leleh tinta,
yang mengukir aksara tanpa diminta
Bahwa aku mencinta ragaku,
dengan seluruh rengkuh
Hingga sesal itu,
sesal yang selalu saja ku torehkan pada polos bantal
Takkan pernah lagi mengusik lelap tidurku
Ah,
dan lihatlah pada Bulan,
adalah aku yg bersinar dengan pendar ketulusan
Adalah aku!

MAAFKU

Masih lekat dalam kenangku
Menelisik gurat lelah lewat lebam matamu
Dengan mulut terkunci menahan amurka
Kau ucap kata seadanya
Dan senyum itu Sayang
Senyum yang seyogyanya membuatku kepayang
Telah kau tambatkan pada pekat asap perapian
Sementara tegak tubuhku tepat dua meter didepanmu
Nyaris limbung oleh perasaan salahku
Maaf atas ulahku,
Jeritku, Cekat di tenggorokan
dan untuk kali ini biar ku ungkapkan lewat tulisan

Selasa, 05 Januari 2010

PULANG

Bus yang kutumpangi terus terseok-seok menyusuri jalanan aspal, asapnya hitam menggumpal, meninggalkan pelabuhan. Mataku yang terkatup masih terlalu berat untuk sekedar menengok sekitar. Jerit klakson dan deru lalu lintas pagi menyeruak kupingku seolah berebut saling mendahului. Aku merasakan penat kakiku yang sedari Shubuh kutekuk dengan tubuh meringkuk membentuk huruf U yang nyaris sempurna. Dering HP dari balik jaket, memaksa tanganku untuk merogohnya. Dengan mata terpicing kususuri tiap-tiap kata pada layarnya. ”Nak, khadu togok dipa? Hati-hati di khang laya yo ”
Sebuah pesan pendek dari Bunda.

Aku sendiri tak tau tepatnya sampai mana. Yang pasti keberangkatanku dari Malang sudah genap sehari semalam. Hingga saat pupilku menangkap merah tanah perbukitan di kejauhan, lalu renggas trembesi yang menjulang di jalan-jalan. Dan mendapati bangunan besar dengan atap Siger khas Lampung yang sudah sangat ku kenal. Cepat ku ketik balasan buat Bunda,
”Khadu togok Jalur Lintas Sumatera Bakauheni Mak, iyu..”

Akhirnya, perjalanan menyisakan 6 atau 7 jam lagi, gumanku. Sudah terbayang-bayang di pelupuk mataku, hijau kampungku yang ditumbuhi batang-batang karet dan rimbunan kopi. Lalu harum aroma cengkeh, diseduh dengan segelas teh. Di teras depan, aku dan bunda biasa berdamai dengan senja membincangkan tentang banyak hal. Hingga sayup-sayup suara azan terdengar, baru kita akan saling berdiam. Betapa indah untuk dikenang. Sebenarnya ini bukan ritual tahunanku. Sebab biasanya, hanya pada Lebaran keinginanku melepas rindu pada kampung halaman terlaksanakan. Namun liburan kali ini aku nekat pulang, dengan menumpang bus kelas orang melarat, tanpa AC, tanpa WC. Akhirnya aku bisa pulang. Aku tahu, seharusnya aku cepat-cepat menyelesikan skripsiku dulu. Tapi entah kenapa, keinginanku untuk pulang begitu kuat. Ya, yang jelas aku ingin pulang, itu saja. Dan sebelum ku kantongi Nokia bututku, sempat ku lirik jam pada layarnya yang menunjukan tepat angka 9.00. Hmmmh.. masih ngantuk, gumanku. Aku mulai tertidur lagi.

Saat terjaga, bus yang aku tumpangi masuk terminal Rajabasa, pintu masuk Kota Bandar Lampung, yang merupakan momok bagi para pendatang. Lewat kusam jendela kaca ku lihat matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua seakan memanggang bus bersama isinya. Lalu deretan kursi penumpang yang dijejali tubuh-tubuh kepanasan dengan kipas-kipas di tangan. Sementara aku yang juga kegerahan, mulai mengibas-ngibaskan “W.S. Rendra”-ku yang setia menemani perjalananku. Bukannya tambah nyaman, aku mulai mencium bau keringat dari sebelah kiriku melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Sungguh, membuatku nyaris pingsan. Sementara dari bangku depan terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki berkulit legam yang setengah mengantuk. “Kenapa sih, harus merokok ?” Gerutuku.

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyeruak masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah memaksa loncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi arena pasar yang hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun tanpa rasa berdosa. Para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking bersaing dengan suara mesin yang menjerit nyaring. Di depanku, tegak perempuan paruh baya menyodor-nyodorkan dagangannya, bahkan sampai dekat sekali ke mataku. Aku menggeleng dan pura-pura menyelusuri halaman W.S Rendra seolah serius membaca. Samar ku dengar mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau membeli. Seorang di antara mereka bahkan mengutuk para penumpang dengan mengatakan kami manusia-manusia medit, atau manusia-manusia yang tak punya duit. Ah, inilah potret Indonesia, miris aku melihatnya.

Suasana semakin gerah, semakin tidak nyaman, dan penumpang tak berdaya melawan keadaan. Dalam keadaan seperti ini, harapan penumpang hanya satu, hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke terminal selanjutnya. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan asik sendiri. Dari jauh kulihat ia menenggak sebotol minuman penuh busa yang entah apa namanya, dengan sebatang sigaret ditangan. Lalu kusapukan pandanganku pada penumpang-penumpang yang mulai kelihatan sangat gelisah dan jengkel. Tukang-tukang asongan yang tak pernah berhenti menawarkan dagangan. Kepulan asap rokok yang membumbung keluar lewat jendela. Makin sumpek aku dibuatnya. Lalu kucoba mengalihkan perhatianku dengan membuka-buka buku Rendra yang sedari kemarin lekat ditanganku. Sekilas ku baca salah satu puisinya dengan judul huruf kapital tertulis “PUISI PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA”. Aku tersenyum sendiri dan berpikir, mungkin puluhan dari mereka sedang beraksi di terminal ini.

Belum sempat ku baca habis puisi Rendra, lamat-lamat gendang telingaku menangkap suara sopran spinto yang mendayu-dayu. Begitu merdu, mengingatkanku pada suara penyanyi Mesir, Sami Yusuf. Ternyata suara itu milik seorang lelaki tua, berdiri tepat di pintu depan bus yang ku tumpangi. Ia mengenakan baju kumuh serba gelap, lengkap dengan kopiah berwarna hitam pekat. Seraya bertumpu pada tongkat kayu, mulutnya terus melantunkan lagu berbahasa arab. Ah, sepertinya aku begitu terbiasa dengan lagu ini. Bukankah ini bacaan Shalawat Nariyah? Gumanku.

Perlahan ia menaiki bus, dan mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian di ulang-ulangnya lagu itu, lebih tepatnya -Shalawat Nariyah- dengan suara yang begitu syahdu. Terus kuperhatikan lelaki itu, pun saat keriput tangannya menengadah pada penumpang. Ah, lelaki itu mengemis. Mulutnya terus merapalkan lirik-lirik yang sama. Ya, aku tidak salah. Ia melantunkan Shalawat Nariyah. Aku pun sering membaca Shalawat Nariyah seperti itu, terutama saat ngaji di Mushalla waktu kecil dulu. Guru ngajiku bilang bahwa salah satu faedah Shalawat Nariyah itu menghilangkan kesusahan, kegundahan dan kemiskinan. Dan sekarang kudengar sendiri ada lelaki tua membaca Shalawat Nariyah untuk mengemis.

Ada yang berkecamuk di benakku saat menyaksikan si lelaki tua. Mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Apakah karena faedah Shalawat Nariyah itu untuk melapangkan rizqi. Hingga lelaki tua berharap bisa menjadi kaya dengan melantunkan Shalawat Nariyah yang diimbangi usaha, yakni mengemis. Tapi anehnya perasaan demikian lenyap ketika si lelaki tua sudah berdiri di depanku. Mungkin karena syahdu shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ribuan. Atau karena gurat tubuh tuanya yang mengingatkanku pada Datuk Sulaiman, tetanggaku yang papa tapi sangat rajin ke Mushalla.

Perhatianku terhadap si lelaki tua terputus oleh bunyi pintu bus yang di banting. Kulihat sopir sudah dibelakang kemudi. Kondektur masuk dan berteriak mengingatkan penumpang bahwa bus segera berangkat. Sepertinya ia sedang marah. Lalu nanar matanya tertuju pada lelaki tua, dengan kasar ia mengumpatnya. Tapi lelaki itu terus saja melantunkan Shalawat Nariyah dengan bening suaranya. Mungkin karena kesal, dengan kasar di dorongnya lelaki tua keluar lewat pintu belakang. Demi melihatnya, ingin rasanya balik memaki kondektur, namun suaraku cekat ditenggorokan. Dan perlahan bus melaju seiring gedebum pintu, yang kali ini dibanting si kondektur. Tiba-tiba terdengar dering HPku, segera kuperiksa. Lagi, sebuah pesan pendek dari Bunda, “Nak, benno ki khadu togok persimpangan Bandar Jaya sms yo. Kenyin disusul adekmo” . Aku pikir, nanti saja "reply"-nya lah. Toh busnya baru saja jalan.

Dan tubuhku semakin terguncang-guncang, ketika bus berjalan lebih kencang. Lewat kaca depan bisa ku lihat wajah seram sopir yang kelihatan mabuk. Kurasakan bus melaju makin ugal-ugalan. Seperti halnya aku, semua penumpang terlena dengan lamunan masing-masing. Masih terngiang di kepalaku merdu Shalawat Nariyah lelaki tua. Suaranya seakan-akan memenuhi batok kepala hingga setengah sadar, kusaksikan wajah lelaki tua yang tersenyum penuh makna pada jendela-jendela, juga pada pintu yang membuatnya enyah, lalu pada bangku-bangku penumpang yang berderet di depan, belakang, maupun di bangku sampingku. Mereka semuanya tiba-tiba serupa dengan si lelaki tua. Melantunkan Shalawat Nariyah dengan penuh khidmat. Lalu gema suara itu kian membuncah, seperti dengungan ribuan lebah. Dan aku pikir ini halunisasi. Sebuah mimpi yang memang sulit dimengerti.

Kukira ini masih mimpi ketika kurasakan peristiwa hebat. Di awali dengan dentuman dahsyat. Kemudian kusaksikan mayat-mayat berterbangan dan jatuh di sekelilingku. Juga tubuh-tubuh terluka dan beberapa kelihatan sangat menderita. Karena begitu takutnya, aku berusaha lari. Namun aku mendapati tubuhku rebah ditanah dan merasakan sakit tak terkira. Ya Rabbi, tiba-tiba aku tersadar, aku terluka parah. Kulihat bus yang kutumpangi sudah terjungkir menghantam pembatas jalan. Orang-orang merintih. Dan lamat-lamat dari arah bus yang ringsek, masih kudengar suara lelaki tua itu, terus mendendangkan Shalawat Nariyah. Kali ini begitu memilukan. Begitu dalam.

Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu..

Ya Alloh, bulu romaku bergidik demi mendengarnya. Lalu kurasakan darah mengucur dari telinga dan hidungku. Mulutku terasa asin. Aku takut. Tergambar wajah perempuan tua di ujung jalan yang menanti kepulangan anaknya. Aku ingat Bunda. Sekuat tenaga, kuraba kantong jaketku mencari-cari benda merah segi empat. Menahan sakit, ku pencet keypad; dengan gemetaran sempat kutuliskan “ Mak, nyak khadu togok ” dan saat jempolku berhasil menekan send aku sudah tak ingat apa-apa.
.
.
.
.

Yang Merenda Malangnya Malang, Desember 30, 2009 (12.00-18.00)



NB:
”Nak, khadu togok dipa? Hati-hati di khang laya yo" = Nak, sudah sampai mana? Hati-hati di jalan ya.

”Khadu togok Jalur Lintas Sumatera Bakauheni Mak, iyu..” = Sudah sampai Jalur Sumatera Bakauheni Buk, iya

“Nak, benno ki khadu togok persimpangan Bandar Jaya sms yo. Kenyin disusul adekmo” .= Nak nanti kalau sudah sampai persimpangan Bandar Jaya sms ya. Biar disusul adikmu.

“ Mak, nyak khadu togok” = Bu, saya sudah sampai