Minggu, 07 Maret 2010

AKU JUGA BISA

Dan aku juga bisa
Duduk pongah laiknya Cleopatra,
Mengunci pintu-pintu dibilik hatiku
pada tiap-tiap Kaisar Roma yang mendobrak paksa
Meski letih tubuhku tuk terus bertumpu
pada gemetar lutut kakiku
Demi menyaksikan hujan aksioma
yang tak jua reda
Tentang naif sabdamu
yang kau bisikan lewat pekat asap perapian,
Lalu mirisnya syair lamamu
yang masih saja terperangkap cinta gila pada dua perempuan
Maka aku juga bisa,
Tegak penuh hentak dihadpmu
Untuk sekedar bilang:TIDAK

DIAM

Aku diam kerna aku tak ingin bicara
Kerna begitu nikmatnya kusantap hening
Hening yang meneduhkan segala genting
Lalu kau bilang diamku takkan bisa meyelesaikan masalah
Tapi bagiku diam menjawab dengan seribu bahasa
Pernah ku saksikan mulut-mulut simbah busa
Dengan sembur kata-kata,
yang meluapkan banyak bisa
Dan ah,
dengan banyak bicara kau terlihat merana
Dan dalam diamku biar kumaknai semesta
Biar

Yang Esa

Lelahku menapak jejak derita dilingkup fana
Menebak tipu tawa yang terukir
diraut muka-muka durjana
Menciptakan kehausan raga pada lerap dzikir
Pada yang Esa yang sempat tersingkir
Dan Tuhan,
Datang aku mngunjungiMu
Sebelum rekah surya tempat diatas ubunku
Lalu ku hampar sajadah rindu
MencumbuMu hingga hilang segala kesahku

PASRAH

Inilah sajak kematian
Sebab sepagi ini aku bahkan sebegitu merindukannya
Rindu pada derap kereta Izrail,
pada gigil nafas sang Habil
Lalu pucat Perempuan tua yang meratap gegap
saat rebah raga gadisnya
Tanpa cinta, tanpa nyawa
Sebegitu rindunya aku
Rindu pada lerap sorga,
Sebelum retas penggal nadiku
Menyaksikan riuh iringan Pengantin
Lalu senyum sumringah
yang menempel pada tmbok-tembok rumah
Dan kutemukan wajahmu disana,
Tanpa beban,
tanpa Dosa
T_T

RINDU gila

Tiba-tiba kegundahanku kian mengganas
Sebegitu bringas,
Selaiknya macan dipuncak buas
Rindu yang carut-marut sebagai topan
Sepi yang seru-berseru di tengah keramaian,
Terperangkap pada satu nama yang tak berkesudahan
Berpagi-pagi aku terjaga,
Dan berharap kan menjalani hari yg sempurna
Tapi bermalam-malam saat menjelang tidur,
Aku tau kerinduan ini belum juga luntur
T_T

MISSING CHAPTER, MISSING ME

Entah kenapa aku tidak bisa tidur malm ini. Wewh.. padahal besok pagi-pagi sekali aku harus meninggalkan Malang untuk PKLI. Atau sebegitu manjurkah dua teguk kopi sore tadi hingga mampu membiarkan mataku tetap terjaga. Ah, apa peduliku. Kali ini kumanfaatkan begadangku untuk sebuah perenungan. Bukan lagi bercumbu dengan puisi semu seperti hari-hari yang lalu. Perenungan tentang hidup, kawan. Well, just going to the topic..

Hidup itu kata banyak orang, selayaknya membuka sebuah buku dimana ada awal, juga akhir - that every single thing which has a start always has the end- dan adalah suatu kemutlakan bahwa sesuatu yang hidup itu pasti mati (baca: berakhir). Bahwa jika kisah hidup kita diibaratkan bab, maka ketika suatu bab berakhir, akan di ikuti babak baru yang lain. Dan tak ada satupun yang bisa menebak, apa bagian akhir dari tiap babnya. Kecuali penulisnya, penciptanya.

Buatku, dan mungkin buat banyak orang, tiap hari yang kan kita lalui adalah misteri, adalah rahasia. Meski kadang kita tak bisa menyangkal jika kita merasa bosan menjalani hari-hari yang selalu bergumul dengan masalah. Yang bahkan semakin kedepan, semakin sarat dengan masalah.. sarat tantangan. Bukan berarti kita bisa berhenti berusaha dan menyerah dengan keadaan. Bukan. Sebab terlalu naif untuk berbuat demikian. Tuhan ciptakan masalah bagi hambanya sesuai kemampuan kita. Kita bisa berkaca pada alam, pada bentang sahara yang tetap bercahaya saat surya membakar tiap-tiap bulirannya. Pada ranggas daun, yang meliuk pikuk dipermainkan angin lalu rebah ketanah, tanpa melenguh, tanpa mengeluh.

Bersyukur. Ya, bersyukur. Adalah satu kunci yang bisa membuat hidup kita indah, sepahit apapun itu. Ketika kita punya kesadaran untuk mensyukuri tiap detik yang diberikan Nya, tiap sengal nafas yang masih di ijinkan untuk dihirup. Pun tiap-tiap enigma yang menyiratkan kita ada. Dengan begitu, kita bisa berpikir lebih bijak. Dan bisa berdamai dengan mereka, yaitu semua masalah yang sering membuat kita nyaris putus asa.

Mungkin, ada hari dimana kita harus mencecap sulit yang membelit. Dan itulah bagian dari kisah hidup, kawan. Bagian dari bab sebuah buku kehidupan. Tapi Tuhan maha pemurah. Diberikannya kita berkah untuk tetap memiliki mental yang sehat, jiwa yang tegar. Hingga perlahan badai menggerimis reda, dan kita bisa tertawa laiknya mereka. Yakni mereka yang menganggap masalah bagian kelumrahan dari hidup.

Dan sebenarnya adalah sulit bagi kita untuk sekedar membaca. Membaca hati seseorang yang kadang berbalik dari kenyataan. Banyak orang yang terlihat memiliki segalanya dari luar, ternyata rapuh di dalam. Bahkan mungkin mereka harus berusaha lebih keras untuk terlihat sebagai manusia normal demi alasan-alasan yang mungkin tidak dimiliki orang kebanyakan yang terlahir sebagai orang biasa-biasa saja.

Terkadang, ada saat di mana kita merasa kehilangan sesuatu dalam hidup. Selaiknya sebuah bab dalam buku, ada halaman yang hilang. Dimana kita merasa asing saat tiba-tiba jalan cerita begitu berubah. Dan lalu kita berpikir untuk memiliki lembar yang harusnya terjadi sebelum lembar yang lain terbaca. Terjadi. Dan itulah yang kita namakan the Missing Chapter.

Butuh waktu dan perenungan, untuk tahu apa sebenarnya yang menjadi missing chapter dalam buku kehidupan kita. Lalu, mulailah kita mengawali pencarian. Dengan banyak praduga dan prasangka. Lalu saat sadar kesimpulan kita salah. Kita kecewa. Ah, aku sendiri sampai saat ini tidak terlalu yakin dengan apa itu ”the missing chapter?”. Hingga lelah sudah raga ini dalam pencarian tak bertuan.

Namun, akhirnya aku bisa mengerti bahwa semakin aku mencari apa yang hilang dalam hidupku -dulu- aku malah merasa bahwa aku telah membuang satu babak hidupku dimasa sekarang. Terlalu ironiskah? Artinya, sejatinya benar apa kata mereka. Bahwa kita seharusnya tidak perlu menyesali apa-apa yang tidak kita miliki, melainkan mensyukuri apa apa yang kita miliki saat ini.

Dan dengar kawan, mungkin hal-hal yang kita pikir ”the missing chapter” itu sebenarnya malah tidak pernah hilang. Ia ada pada halaman-halaman yang manis untuk dibaca di bab awal. Atau mungkin juga ada yang malah manis ketika harus dinikmati diakhir cerita. Ah, mungkinkah begitu?

Mereka bilang bahwa tiap-tiap pertanyaan pasti ada jawaban. Tapi apa salahnya jika Tuhan berkehendak lain. Bahwa tiap-tiap pertanyaan pasti akan memiliki jawaban pada waktunya. Pada saat yang tepat. Jadi ketika kita merasa lelah sebegitunya menanti jawaban dari missing chapter dalam buku kehidupan yang kita punya. Tetaplah bertahan. Bukan menyerah pada keadaan atupun lari dari kenyataan. Bukan.

Aku teringat seseorang yang pernah mengatakan, bahwa adalah mutlak atas kita kemenangan. bagi kita yang tak pernah letih meski tertatih. Pun mengeluh meski berulangkali jatuh. Selagi masih mengalir senandung dzikir dan rapalan doa. Maka adalah mutlak atas kita, sebagaimana telah di janjikan dalam firman tuhan. Dalam larik-larik kitab suci yg tak seorang pun mampu mengingkari. Ah, bukankah ada benarnya.

Yang pasti, saat ini aku berusaha meyakini satu hal dalam hidupku. Bahwa penghargaan akan hidup dan kehidupan saat sekarang adalah lebih berarti daripada hanya sekedar mengkultuskan masa lalu. Dalam artian, melangkah kedepan meski harus aku tertatih akan jauh lebih baik daripada harus ku susuri masa lalu dengan penuh peluh. Cukup jadikan ia pelajaran tanpa harus menjadikan ia degup hidup dalam jantungmu. Jangan. Itu saja.

Well, thank a bunch God. For giving me more chance to see, to feel, to touch, to hear. For every single magic in each hour of my life. For the rains, the sun, the rainbow and every drop of love created… For everything!

SAJAK MANTERA

Assalamualaikum..
Ku kirimkan salam pada Jin semesta,
Pada gelap langit keramat,
Gelak tawa perempuan durja
Dan gelegar guntur malam Jum’at
Tiga tangkai Seroja ,
Lima kelopak Kemboja,
Dicabik nestapa,
Selusin duri menancapkan sepi sempurna,
Sementara menyan-menyan mengasapi luka,
Sungguh mati kutu aku dibuatnya
Lalu PUAAH!
kurapalkan mantera Bismillah
AKU PASTI BISA!

SAJAK KARTINI

Ranggaswara, jika kau pernah membaca paragraf ini, Jika kau pernah mendengar kata emansipasi, tentu kau tau nasib seorang perempuan muda yang melabuhkan cinta pada Nusantara: Jatuh bangun mencari dimana tempat itu sebenarnya. Tempat yang ditubuhnya penuh bebatuan kisruh. Semrawut wanita dengan impian lusuh. Persis seperti gambar yang lekat dikoran-koran. Dari negeri tempat kau menanam harapan, pada abjad-abjad latin yang diejakan. Perempuan itu, kini bermuram durja. Diam, membatu meski selalu dielukan. Bertolak dengan nisan pemakaman tanah Rembang dimana dulu pernah ia tuliskan: Habis Gelap Terbitlah Terang.
.
.
.
[03.44 pm 05032010]

SAJAK HUJAN

Sudah lama aku menyulam khayalan pada tirai hujan
Menata wajahmu disana serupa gumpal awan
Serpih demi serpih,
dengan perekat kenangan ditiap sisinya
Lalu saat semuanya menjelma sempurna
ku bingkai parasmu dengan leleh renjana,
“Cinta selalu memendam misterinya pada langit, pada hujan”
ucapmu terbata-bata
Lalu pada alur sungai air mata,
Dimana setiap harapan kita karam disana
Namun aku tau,
bahwa aku ada Dinadimu seperti adamu Didarahku

Kamis, 07 Januari 2010

Optimis

Kali ini puaskan dahagamu kawan!
Reguk teguk seluruh isi bejana
yang kukirim lewat pijar mentari pagi ini
Cecaplah tiap tetesnya
hingga kau sadar bahwa kenyataan lebih indah
dari sekedar larut dalam pintalan asa yang tak berkesudahan
dan jangan pernah menoleh kebelakang
sebab apa-apa yang kau punya saat ini,
jauh lebih berharga dari sepenggal masa lalu
yang lamat-lamat tersapu waktu
Sungguh,
Jangan biarkan ia berdegup hidup dalam kenangmu,
menghantuimu,
JANGAN PERNAH!

BAHAGIA

Terlalu naif untuk menjadi khanif
Terlalu senja untuk sekedar merasa
Bahwa sejatinya aku berseri dengan bisa berbagi
Bahwa adalah aku selaiknya leleh tinta,
yang mengukir aksara tanpa diminta
Bahwa aku mencinta ragaku,
dengan seluruh rengkuh
Hingga sesal itu,
sesal yang selalu saja ku torehkan pada polos bantal
Takkan pernah lagi mengusik lelap tidurku
Ah,
dan lihatlah pada Bulan,
adalah aku yg bersinar dengan pendar ketulusan
Adalah aku!

MAAFKU

Masih lekat dalam kenangku
Menelisik gurat lelah lewat lebam matamu
Dengan mulut terkunci menahan amurka
Kau ucap kata seadanya
Dan senyum itu Sayang
Senyum yang seyogyanya membuatku kepayang
Telah kau tambatkan pada pekat asap perapian
Sementara tegak tubuhku tepat dua meter didepanmu
Nyaris limbung oleh perasaan salahku
Maaf atas ulahku,
Jeritku, Cekat di tenggorokan
dan untuk kali ini biar ku ungkapkan lewat tulisan

Selasa, 05 Januari 2010

PULANG

Bus yang kutumpangi terus terseok-seok menyusuri jalanan aspal, asapnya hitam menggumpal, meninggalkan pelabuhan. Mataku yang terkatup masih terlalu berat untuk sekedar menengok sekitar. Jerit klakson dan deru lalu lintas pagi menyeruak kupingku seolah berebut saling mendahului. Aku merasakan penat kakiku yang sedari Shubuh kutekuk dengan tubuh meringkuk membentuk huruf U yang nyaris sempurna. Dering HP dari balik jaket, memaksa tanganku untuk merogohnya. Dengan mata terpicing kususuri tiap-tiap kata pada layarnya. ”Nak, khadu togok dipa? Hati-hati di khang laya yo ”
Sebuah pesan pendek dari Bunda.

Aku sendiri tak tau tepatnya sampai mana. Yang pasti keberangkatanku dari Malang sudah genap sehari semalam. Hingga saat pupilku menangkap merah tanah perbukitan di kejauhan, lalu renggas trembesi yang menjulang di jalan-jalan. Dan mendapati bangunan besar dengan atap Siger khas Lampung yang sudah sangat ku kenal. Cepat ku ketik balasan buat Bunda,
”Khadu togok Jalur Lintas Sumatera Bakauheni Mak, iyu..”

Akhirnya, perjalanan menyisakan 6 atau 7 jam lagi, gumanku. Sudah terbayang-bayang di pelupuk mataku, hijau kampungku yang ditumbuhi batang-batang karet dan rimbunan kopi. Lalu harum aroma cengkeh, diseduh dengan segelas teh. Di teras depan, aku dan bunda biasa berdamai dengan senja membincangkan tentang banyak hal. Hingga sayup-sayup suara azan terdengar, baru kita akan saling berdiam. Betapa indah untuk dikenang. Sebenarnya ini bukan ritual tahunanku. Sebab biasanya, hanya pada Lebaran keinginanku melepas rindu pada kampung halaman terlaksanakan. Namun liburan kali ini aku nekat pulang, dengan menumpang bus kelas orang melarat, tanpa AC, tanpa WC. Akhirnya aku bisa pulang. Aku tahu, seharusnya aku cepat-cepat menyelesikan skripsiku dulu. Tapi entah kenapa, keinginanku untuk pulang begitu kuat. Ya, yang jelas aku ingin pulang, itu saja. Dan sebelum ku kantongi Nokia bututku, sempat ku lirik jam pada layarnya yang menunjukan tepat angka 9.00. Hmmmh.. masih ngantuk, gumanku. Aku mulai tertidur lagi.

Saat terjaga, bus yang aku tumpangi masuk terminal Rajabasa, pintu masuk Kota Bandar Lampung, yang merupakan momok bagi para pendatang. Lewat kusam jendela kaca ku lihat matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua seakan memanggang bus bersama isinya. Lalu deretan kursi penumpang yang dijejali tubuh-tubuh kepanasan dengan kipas-kipas di tangan. Sementara aku yang juga kegerahan, mulai mengibas-ngibaskan “W.S. Rendra”-ku yang setia menemani perjalananku. Bukannya tambah nyaman, aku mulai mencium bau keringat dari sebelah kiriku melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Sungguh, membuatku nyaris pingsan. Sementara dari bangku depan terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki berkulit legam yang setengah mengantuk. “Kenapa sih, harus merokok ?” Gerutuku.

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyeruak masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah memaksa loncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi arena pasar yang hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun tanpa rasa berdosa. Para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking bersaing dengan suara mesin yang menjerit nyaring. Di depanku, tegak perempuan paruh baya menyodor-nyodorkan dagangannya, bahkan sampai dekat sekali ke mataku. Aku menggeleng dan pura-pura menyelusuri halaman W.S Rendra seolah serius membaca. Samar ku dengar mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau membeli. Seorang di antara mereka bahkan mengutuk para penumpang dengan mengatakan kami manusia-manusia medit, atau manusia-manusia yang tak punya duit. Ah, inilah potret Indonesia, miris aku melihatnya.

Suasana semakin gerah, semakin tidak nyaman, dan penumpang tak berdaya melawan keadaan. Dalam keadaan seperti ini, harapan penumpang hanya satu, hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke terminal selanjutnya. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan asik sendiri. Dari jauh kulihat ia menenggak sebotol minuman penuh busa yang entah apa namanya, dengan sebatang sigaret ditangan. Lalu kusapukan pandanganku pada penumpang-penumpang yang mulai kelihatan sangat gelisah dan jengkel. Tukang-tukang asongan yang tak pernah berhenti menawarkan dagangan. Kepulan asap rokok yang membumbung keluar lewat jendela. Makin sumpek aku dibuatnya. Lalu kucoba mengalihkan perhatianku dengan membuka-buka buku Rendra yang sedari kemarin lekat ditanganku. Sekilas ku baca salah satu puisinya dengan judul huruf kapital tertulis “PUISI PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA”. Aku tersenyum sendiri dan berpikir, mungkin puluhan dari mereka sedang beraksi di terminal ini.

Belum sempat ku baca habis puisi Rendra, lamat-lamat gendang telingaku menangkap suara sopran spinto yang mendayu-dayu. Begitu merdu, mengingatkanku pada suara penyanyi Mesir, Sami Yusuf. Ternyata suara itu milik seorang lelaki tua, berdiri tepat di pintu depan bus yang ku tumpangi. Ia mengenakan baju kumuh serba gelap, lengkap dengan kopiah berwarna hitam pekat. Seraya bertumpu pada tongkat kayu, mulutnya terus melantunkan lagu berbahasa arab. Ah, sepertinya aku begitu terbiasa dengan lagu ini. Bukankah ini bacaan Shalawat Nariyah? Gumanku.

Perlahan ia menaiki bus, dan mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian di ulang-ulangnya lagu itu, lebih tepatnya -Shalawat Nariyah- dengan suara yang begitu syahdu. Terus kuperhatikan lelaki itu, pun saat keriput tangannya menengadah pada penumpang. Ah, lelaki itu mengemis. Mulutnya terus merapalkan lirik-lirik yang sama. Ya, aku tidak salah. Ia melantunkan Shalawat Nariyah. Aku pun sering membaca Shalawat Nariyah seperti itu, terutama saat ngaji di Mushalla waktu kecil dulu. Guru ngajiku bilang bahwa salah satu faedah Shalawat Nariyah itu menghilangkan kesusahan, kegundahan dan kemiskinan. Dan sekarang kudengar sendiri ada lelaki tua membaca Shalawat Nariyah untuk mengemis.

Ada yang berkecamuk di benakku saat menyaksikan si lelaki tua. Mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Apakah karena faedah Shalawat Nariyah itu untuk melapangkan rizqi. Hingga lelaki tua berharap bisa menjadi kaya dengan melantunkan Shalawat Nariyah yang diimbangi usaha, yakni mengemis. Tapi anehnya perasaan demikian lenyap ketika si lelaki tua sudah berdiri di depanku. Mungkin karena syahdu shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ribuan. Atau karena gurat tubuh tuanya yang mengingatkanku pada Datuk Sulaiman, tetanggaku yang papa tapi sangat rajin ke Mushalla.

Perhatianku terhadap si lelaki tua terputus oleh bunyi pintu bus yang di banting. Kulihat sopir sudah dibelakang kemudi. Kondektur masuk dan berteriak mengingatkan penumpang bahwa bus segera berangkat. Sepertinya ia sedang marah. Lalu nanar matanya tertuju pada lelaki tua, dengan kasar ia mengumpatnya. Tapi lelaki itu terus saja melantunkan Shalawat Nariyah dengan bening suaranya. Mungkin karena kesal, dengan kasar di dorongnya lelaki tua keluar lewat pintu belakang. Demi melihatnya, ingin rasanya balik memaki kondektur, namun suaraku cekat ditenggorokan. Dan perlahan bus melaju seiring gedebum pintu, yang kali ini dibanting si kondektur. Tiba-tiba terdengar dering HPku, segera kuperiksa. Lagi, sebuah pesan pendek dari Bunda, “Nak, benno ki khadu togok persimpangan Bandar Jaya sms yo. Kenyin disusul adekmo” . Aku pikir, nanti saja "reply"-nya lah. Toh busnya baru saja jalan.

Dan tubuhku semakin terguncang-guncang, ketika bus berjalan lebih kencang. Lewat kaca depan bisa ku lihat wajah seram sopir yang kelihatan mabuk. Kurasakan bus melaju makin ugal-ugalan. Seperti halnya aku, semua penumpang terlena dengan lamunan masing-masing. Masih terngiang di kepalaku merdu Shalawat Nariyah lelaki tua. Suaranya seakan-akan memenuhi batok kepala hingga setengah sadar, kusaksikan wajah lelaki tua yang tersenyum penuh makna pada jendela-jendela, juga pada pintu yang membuatnya enyah, lalu pada bangku-bangku penumpang yang berderet di depan, belakang, maupun di bangku sampingku. Mereka semuanya tiba-tiba serupa dengan si lelaki tua. Melantunkan Shalawat Nariyah dengan penuh khidmat. Lalu gema suara itu kian membuncah, seperti dengungan ribuan lebah. Dan aku pikir ini halunisasi. Sebuah mimpi yang memang sulit dimengerti.

Kukira ini masih mimpi ketika kurasakan peristiwa hebat. Di awali dengan dentuman dahsyat. Kemudian kusaksikan mayat-mayat berterbangan dan jatuh di sekelilingku. Juga tubuh-tubuh terluka dan beberapa kelihatan sangat menderita. Karena begitu takutnya, aku berusaha lari. Namun aku mendapati tubuhku rebah ditanah dan merasakan sakit tak terkira. Ya Rabbi, tiba-tiba aku tersadar, aku terluka parah. Kulihat bus yang kutumpangi sudah terjungkir menghantam pembatas jalan. Orang-orang merintih. Dan lamat-lamat dari arah bus yang ringsek, masih kudengar suara lelaki tua itu, terus mendendangkan Shalawat Nariyah. Kali ini begitu memilukan. Begitu dalam.

Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu..

Ya Alloh, bulu romaku bergidik demi mendengarnya. Lalu kurasakan darah mengucur dari telinga dan hidungku. Mulutku terasa asin. Aku takut. Tergambar wajah perempuan tua di ujung jalan yang menanti kepulangan anaknya. Aku ingat Bunda. Sekuat tenaga, kuraba kantong jaketku mencari-cari benda merah segi empat. Menahan sakit, ku pencet keypad; dengan gemetaran sempat kutuliskan “ Mak, nyak khadu togok ” dan saat jempolku berhasil menekan send aku sudah tak ingat apa-apa.
.
.
.
.

Yang Merenda Malangnya Malang, Desember 30, 2009 (12.00-18.00)



NB:
”Nak, khadu togok dipa? Hati-hati di khang laya yo" = Nak, sudah sampai mana? Hati-hati di jalan ya.

”Khadu togok Jalur Lintas Sumatera Bakauheni Mak, iyu..” = Sudah sampai Jalur Sumatera Bakauheni Buk, iya

“Nak, benno ki khadu togok persimpangan Bandar Jaya sms yo. Kenyin disusul adekmo” .= Nak nanti kalau sudah sampai persimpangan Bandar Jaya sms ya. Biar disusul adikmu.

“ Mak, nyak khadu togok” = Bu, saya sudah sampai