Rabu, 23 Desember 2009

Pada Hujan

Salam untukmu hujan,
yang sedari pagi Basah menapaki bebatuan,
ranggas ranting,
dan kering tanah merah bata perapian
Kuyup menyeka senja yg berkabung,
hingga lindap warna lembayung
Lebat dalam sunyi tanpa jeda,
dan kesedihan yang menggerimis reda

PUTUS

Kalau sudah begini,
Ku mau selamanya sendiri
Apalah arti keselarasan
tanpa penjewantahan aku & kau menjadi kita,
Saat terkulai aku dalam ketidakberdayaaan
Meracau kau dengan seribu alasan!
Menasbihkan kita dalam kepura-puraan!
Dan kalau sudah begini,
Ku mau kau pergi!
Apalah arti keberduaan,
tanpa ketulusan cinta
Dimana egomu,
pun ku mengalahkan segala,
Ah,
kalau sudah begini,
Ku takkan pernah peduli
Biar manunggal Sang pncipta waktu
sebagai peneduh bagi ragaku

KEPASTIAN

Mengapa selalu saja kau pertanyakan??
Tentang leleh renjana
yg mengotori gelas-gelas kaca di sudut perapian
Dan saat kita bertemu
Kata-kataku tertelan
HILANG
Padahal seuntai kalimat telah kususun
sedari aku melamun semalam
Aku berlari ketika kaki-kaki hujan mengejarku
dengan pijar bara yang nyaris membakar rapuh ragaku
SUNGGUH
Aku bersumpah akan memberi jawaban,
NANTI

LELAH

Lelah,
Untuk sekedar mengerti tentangnya
Tentang samar sabdanya
yang mencintaiku dengan bening jiwa,
Yang memaksaku tertatih
saat kaki ini tak lagi mampu menjejak Bumi
Lelah,
hanya saja sengal nafasku belum juga jeda
Dan dalam penantian panjang tak bertuan
Biar kurajam lelahku,
laiknya Empu yg selalu mampu meretas pilu
Hingga kepalsuan berakhir
Hingga keniscayaan menjadi bagian dari takdir

Sepenggal Asa

Alloh ya Karim,
Ku rapal larik-larik doa-
untuk seorang lelaki
yang kan menjadi bagian atas raga ini
Seorang yang mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang lelaki yang mengeja nafasnya hanya untukMu
Yang mencintaiku bukan sebab kecantikan,
melainkan ketulusan
Dan asaku pun meluap penuh harap:
Tuk menjadikanku seorang wanita
yang membuatnx bangga
Dengan kelembutan yang pernah Kau titipkan,
pada seorang Aisyah
dan bening hati,
yang mencintainya dengan genap jiwa

TEGAR

Pada Loka aku berkaca
Pada desau daun yg menyapa Senja
Saat usia merenggutnya paksa
dan rapuh ranting membuatnya luruh,
berputar liar dipermainkan angin-
hingga akhirnya rebah mencium tanah
Tanpa melenguh,
tanpa mengaduh
Dan Pada Loka aku berkaca
Pada gumpal hari yang merenda Semesta
Ketika gelap terang-nya lindap laun bertanya
Tentang jarak yg memisahkan mereka
Tanpa bicara,
tanpa luka
Ah,pada Loka!

Baktiku

Dan sebelum Kau belenggu buku2 jemariku,
Biar kutabur pekat langit semesta dengan pengharapan kata2,
untuk seorang lelaki yang sebab hadirnya,
raga ini tercipta
Seorang yang sebab merah sabdanya kusantap luka dengan lena
seseorang yang hingga jeda nafasnx,
mencintaiku dg genap jiwa
Dan biar kutepis kikis senyap malam ini,
untuk seseorang yang atas taqdir-Nya,
kupanggil Ayah

BETAPA

Yang ku tahu,
aku selalu mencintai sesuatu yang tak tersentuh
yang selalu membuat merah jantungku galau tak menentu
tanpa ragaku menyentuhnya,
Mungkin itu menyiksa,
tapi sungguh nyata binar bahagia
pada siksaan yang merenda
Memetakan landai perasaanku
pada tajamnya larik kata-kata
seperti asap sigaret yang meski tak pernah ku gengam
tapi mampu racuni napasku dengan luap langgam
BETAPA!

Retak

Di retaknya cermin,
retak kata retak segala!
Dan sungguh aku tak lagi bisa menulis puisi tentangnya
Entah ini pertanda apa,
Mungkinkah kerna puisi renjana hanya untuk mereka-
yang dalam hatiku takkan pernah rebah
Mungkinkah?!
Kucoba berkali-kali tuk mengeja setiap kata
Tapi tak satupun yg bisa menggambarkanya,
tentang dirinna,
tentang lakunya,
tentang adanya oh tentang
Tak satupun kata tertuang
Tak satu pun!

Harapan Cinta

Teruntuk seseorang
Untukmu yang terlelap dalam lelah & lekatnya harapan,
Yang terbaring menantang langit dalam balutan malam yang meneduhkan
Selamat istirahat duhai pengobat Jiwa,
Semoga esok,
pagi menghangatkanmu dg pendar Surya,
Dan malam ini,
Kala damai tubuhmu menapaki mimpi pd keberkatan malam Jum’at
Biar Bulan dendangkan tembang-
lewat sepoi angin dalam buai kantuk nan pekat,
Biar..

PADA-mu

Ah, adakah senyummu mampu menumpas raguku?!
Memasung ragaku untuk berpaling darimu
Adakah?!
Sebab ketika hati dan perasaan tak lg berpihak pd logika
Yang kurasa keraguanku benar-benar meraja
Kenangannya terlalu dalam di kisahku
Melupakanya sama saja melepaskan nafasku
Dan,
Dan kalau sudah begini adakah kau bisa?!
Adakah?!

Keikhlasan

Yang atas nama derita,
yang tak juga menggerimis reda
Mengajariku tentang satu kata yang kau sebut keikhlasan
Dan keikhlasan ini,
Laikna keikhlasan yang termaktub dalam kisah Ibrahim,
yang padanya ku belajar indahnya arti pengorbanan
Dan dalam setiap pengorbanan ini Kawan,
Sungguh mengingatkanku pada lerap mata air
Yang senantiasa menjadi harapan bg para musafir

Tentang Cinta

Demi Dzat yang membolak-balikan segala,
yang merajai pergantian siang-malam,
yang atas kuasa-Nya trcipta panas & hujan
Begitupun hakikat hati ini, kawan!
Tidak seharusnya menghambakan PERASAAN pada makhluk-Nya,
Sebab keniscayaan itu pasti datang
Saat kita tersadar bahwa CINTA yg kita agungkan,
luap menjadi bara KEBENCIAN
Pun sebaliknya,
Membakar LOGIKA yg suatu saat rebah dimakan usia!
Dan ah,
itukah flaktuasi kehidupan?
Itukah?!

Jerit Hati

Pagiku lepas terhempas di terjalnya bebatuan
Terik siang tak lagi mampu membuat hangat tubuhku,
yang pada gigil ia memikul bakul penuh kesakitan
Banyak PESAN ku kirimkan untukmu duhai Rajaku seorang
Itulah AKU,
Bukannya mengelak guratan firman Tuhan
BUKAN!
Itulah perasanku,
Sebab jerit hati tak pernah BISA menipu
Dan itulah isi hatiku : kerna bicara kadang membuat LIDAH ini kelu!

Killing Me with This Poem

MAUKU
Mau aku
Mau lumuri yg kumau dg mauku maupun Tak
Aku mau meski mau tak lagi mau
Bulan belah luruh gelap pekat tak lagi bulat
Pun mauku tetap mau dan mau
Redup lintang jenuh galau menyapu sayup tak lagi kuyup
Mauku tak jg lelap dan kian kasat menyengat
Mau pada mau aku merutuk suntuk
Sebab mauku mau Zion melekat padat pd Zionis Zindik dg angkuh Zirah yg merenggut Zirbad
Menoreh kornea menelan luka dg air mata
Dan ganoid logika tak lagi bekerja
Tumbang rebah penuh magenta dalam lena!
Lelah
Luap berdarah darah
Duhai Mayapada!
Yang aku mau,
Bukan mau yg membutakanku
Duhai!
Aku mau Tuhan bunuh mauku
Sungguh aku MAU!
T_T
.
(Malang, BLUISH BLUE 20 OcT. 08)

PENANTIAN

Aku tak mengerti sebab apa Mentari ada
Tak juga mengerti sebab Gradasi memoles Pelangi
Dan aku masih juga tak mengerti sebab getaran memasung jiwa
Meski kucoba mengikis,
dan peluh menguyupkan penat kulit epidermis
Hanya kosong menyergap asa,
Menghentak ingatanku pada lumer Darah
Semburat Sperma
Lalu serpih kromoson,
Sembur tangis oleh mungil yang menggigil
Bangunkan aku sebagai titisan Hawa!
Mengumbar sumpah dengan tajam kata,
Berlari dari candu cinta yang memabukan
Tapi getar ini makin nyata,
Menebar wangi Danube pada Samum yang menyiksa
Pun,
Tak ingin aku memulainya
Biar semua mengalir apa adanya
Meliuk perlahan,
Tak berjeda,
Lelap tanpa paksa…
.
(Inspired By AFH’s Malang 19 September 2008)

Sang Pemimpi

(Remembrence of my Teenage)
.
Memakna cinta,
Gersang
Terkubur bilah Pandora
Memakna rindu,
Usang
Bertirai waktu
Meratap dalam dingin kesendirian
Melumat ringkih tubuh ini,
Kering
Lelah yang menikam
Bunga ini jatuh satu-satu
Menyiratkan naif yang membeku
Auranya hadirkan hidup
Biaskan gemerlapnya Lazuardiku
Pada rinai air yang meluas samudra
Pun pada ujung gelap di buta langit tanpa kerlip
Getaran itu tak jua sirna
Ah..
Inikah Obsesi?!
Merenda hidup dengan hadirnya
Meracuni jiwa dengan kegilaan Quaiys pada Layla
Tuhanku
Tak bisa aku menepis,
Siulet semu yang menebas logika
Tersudut dalam ilusi
Menyulap raga laksa pemimpi
Bilakah Kau berkenan?!
Membingkai kisahmya sebab suratan
Bagai putaran Bumi pada pendar Surya
Mengalir
Tiada akhir,
.
.
.
.
(Malan9 Memoar 2004)

IKHLAS

Kasih
Tahukah kamu?!
Bangunku pada pagi ini membawa petaka
Memulai hari tanpa tawamu
Merajut hidup dalam kesendirian
Kubaca lagi goresan tinta di kertas yang lusuh
Berlinanglah air mataku
Nanar dalam bisu meratapi keputusanmu
Sebab aku bukan pilihanmu
Sementara hatiku belum bisa berpaling
Sekiranya kata-katamu benar adanya
Biarlah kutelan dengan senyum yang meluap
Meski lara menyusup pada tiap inci pori tubuh ini
Ku ingin berkaca pada Moluska
Yang menyulap perihnya pasir jadi permata
Dan ku tak mau menjadi hawa penindas nafsu
Yang memaksakan kehendak jiwa laksa Firaun pada Musa
Bagiku hanya ikhlas yang tersisa
Dan selamanya aku adalah mutiara
Meski mereka balutkan debu pekat pada ragaku yang merenta

Selasa, 22 Desember 2009

Yang MERDEKA Yang TERJAJAH

Senja merayap,
pelan malam luap menguap
Dilelapnya Bulan,lelapnya gemintang
Dicekam pekat langit menaungi merah tanah kuburan
Terbaring disana raga-raga ksatria tanpa putih kain kafan
Menyaksikan Bumi pertiwi yg masih saja terjajah meski lelah sudah meneriakan sepenggal kata: MERDEKA!
Yang masih saja terpuruk buruk dalam endemi luka tanpa jeda
Kemana pergi kebahagiaan itu kemana? Tanya mereka
Dan dimana kekayaan negriku dimana?
Dijarah penguasa! Hentak serempak kau jawab dalam satu suara, lalu,
Hening;
Hening malam ini
Hening November yg mengingatkanku pd runcing bambu
Pada kaki telanjang yg kalap menerjang serdadu
Hingga rebah raga tak lagi kau pedulikan
Demi pekik MERDEKA menjadi keniscayaan, lalu,
Diam;
Diamku kali ini
Diam dalam rapal doa, larut dalam genang airmata
Dalam lindap isak lamat-lamat mulutku mengeja: Kuharap, kau yg terkubur tanpa kata dan papan nama
Telah dibalsamkan oleh wangi puisi dan doa

[Merenda Malamnya Malang 00.00 1110009]

LUKA

(A poem of revealing d’pain haunted)

.

.

.


.

.



.

.

.

.

.
Senja merayap saat hujan meliar kelam

Mematung aku demi kaki hujan yg berkejaran

Tatapanku hilang dalam guyur

Mengeja riak air yg tak kunjung luntur,

dan,

jerit langit mengabarkan lara

LAKSA LARA PADA LARAKU LARA MENGHUJAM SELARAS HUJAN YANG MENYIRAM TANDUS BUMI

DENGAN LELUASA

Tak juga redup meski kuyup tanah luapkan LUKA

Pun,

saat gelap menguap,

malam melukis senyum, menulis bait puisi Gibran tentang cinta Luna pada Semesta

lewat tirai air yg meluruh
Meretas awan yg menjadikannya peluh

Haruskah aku berkaca pada mereka?

Pada hujan yg meratap pilu saat kabut tak lagi mampu menanggung BEBAN yg menyiksa

T_T

.

.

.


(deep hurT, deep cry in d’end of raining Nov 2008)

memang KITA sungguh RETAK

Kita memang tak pernah lagi bicara

Sepatah kata pun,

Kita memang tak pernah lagi menyapa

Seuluk salam pun,

Tak pernah lagi berbagi rasa

Seulas senyum pun,

Tapi

Sungguh, kita pernah bertatap mata

Tak lepas sekedip pun

Dan

Sungguh, pernah lebur hati kita

Tak ragu sedikit pun

Sungguh memang,
.
.
.

[Retak pagi, 21 November 2009]

PENANTIAN dalam TAKBIR

Allohu Akbar pekik takbir lantang menggema, Allohu Akbar

Terkapar ragaku di malam Dzulhijjah,

Menatap langit-langit harapan yg kian samar

Larut perasaanku, lerap dalam sedu sedan tak ber-hujjah

Robbi ya Karim, bebaskan aku dari kesakitan ini

Untuk tiap-tiap tanya, untuk semua enigma,

Yg pada terjalnya ku goreskan sabda penantian

Pada dia, pada seorang hamba yang mencinta Rab-Nya lebih dari segala

Dan disini,

Duhai!

Penantianku belum juga usai

Di teras rumah bata beratapkan Rumbia

Ku lukis senyum yg mengeja renjana

Kuseduh secangkir kopi dengan aroma kayu manis

Yang pada pekatnya kesetiaanku terlukis

Hingga saat anganku tersadar,

Alunan takbir masih sayup terdengar

Begitu dalam,

Mengingatkanku pada yang Esa , pun yang tercinta di ujung malam
.
.
.
.
.
.



Malam 10 Dzulhijjah 1430 H

INDONESIA KITA

Mereka bilang ini negri kaya
Dipagari luas samodra
Ditaburi biji kopi
Dan diteduhkan deretan jati

Lalu kemana rupiah berguling
Saat bumi pertiwi ludes di tambang
Tapi banyak lelaki mengongkang gamang
Dan wanita tetap saja budak ditanah asing

Mereka bilang ini tanah sorga
Disesaki rempah-rempah
Dialiri minyak mentah
Dan dihampari hijau zamrud katulistiwa

Tapi kemana pergi hasil rempah?
Menyaksikan jelata bergelut dalam susah
Kemana surut dana minyak?
Melihat rakyat tak pernah hidup enak,
tak pernah tidur nyeyak

Negri ini sarat lintah darat
Yang pada sesama mereka tega menghisap, mengerat
Hukum tak ubahnya permen karet
Yang mereka kunyah semau-mau,
Dan pada pundi-pundi ia melengket

Lalu tanah ini milik siapa?
Dan sorga bagi siapa?
Apakah mereka yang hobi menjarah?
Mereka yang membungkam massa?
Mereka para penguasa dengan tangan baja?

Sudah saatnya kebenaran ditegakkan
Dan kepicikan diberangus hangus
Sebab tanah ini,
Sebab negri ini,
Sebab Indonesia ini, Kawan!
Tidak pernah pantas untuk mereka-mereka,
Tapi milik KITA yang bersatu atas nama keadilan
Sudah saatnya!
.
.
.
[Malang, The end of November 2009]

GORESAN TAKDIR

Seperti kemarin,

Selalu saja kutuliskan rentet kata-kata yang tak juga menggerimis reda,

Ia menghujan tanpa jeda membasahi kertas buram kehidupan

Tersaji rapi laiknya barisan hikayat tentang Sulaiman

Dan,

Terhenti tarian tanganku dengan pensil hitam diantara buku2 jemariku

Menggurat cerita, mengisahkan alur hidup seorang hawa

Aku tau lelah mata ini untuk sekedar terus terpicing,

Dan ujung pensilku kini tak lagi runcing

Lalu,

Kemanakah kan kukayuh hidup?

Bukankah hidup selalu memilih jalannya sendiri?

Lihatlah,

Sedari dulu disini aku mematung kelu

Dan semuanya terjadi diluar kendaliku,

Dan ah,

Takdir biarkan kali ini aku ungkapkankan kisahku sendiri,

Biarkan sekali saja jari jemariku menari hingga usai

Percayalah,

Tak kan pernah aku menyerah kalah dengan mudah

Pun, berputus asa jika dirundung masalah,

Tak kan mudur rapuh ragaku meski rintangan menghadang,

Tak kan ada airmata jika harus hatiku terluka

Tak kan kuratapi mereka yang menghilang

Ataupun menjadi mati saat kesepian menggerinda

Takkan pernah!

Sungguh, biar ku torehkan sendiri merah, hitam-putih warna yang terukir

Dan engkau takdir,

Duduklah diam dipojok sana

Biarkan aku jalani hidup selayaknya

PADA PECUNDANG

Lelaki datang atas nama cinta

Dan lelaki pergi pun atas nama cinta

Dan aku yg terlahir wanita bukan berarti selalu pasrah,

Dengar,

Telah tergambar gurat kepalsuan di wajahmu,

Seperti bilurya bulan yg menipu mata dengan kesempurnaan,

Yang pada Surya ia meretas cahaya,

Lalu mengapa masih saja kau pertanyakan?

Sebab kepergianku adalah sebuah aksioma!

Yang meninggalkan hati untuk dicela,

Tapi pasti ku kan kembali dalam satu masa,

Untuk mempertanyakan lagi tentang janjimu,

tentang merahnya cinta yang kau tanamkan dalam darahku,

PASTI!

MENGENANG AYAH

Kudus malam ini,

larut ragaku bermunajat dalam khidmat

Ku lukis bayangmu di kanvas pekat langit malam Jum’at

Untuk mengenang tiap leleh peluhmu yang menyesaki tubuh

Dan tiap-tiap lenguh suaramu melawan sakit yang tak kunjung sembuh

Namun di terik panas sinar sang surya

Terus saja kau kayuh sepeda tua,

menyusuri aroma tanah pada jalan-jalan desa

Menyampaikan sekelumat firman Tuhan atau sekedar hukum boneka

Sementara orang tertawa!

Pun, kau masih tetap bertahan,

Mengabdikan hidupmu pada mereka yang haus keilmuan

Bergelut dengan terjal kehidupan demi cita anakmu

Hingga rebah ringkih raga saat Izrail menjemput nyawa

Terlukis senyum di bibirmu dengan rona tembaga

Senyum harapan untuk kami anak-anakmu yang merindukan pendar bulan

Dan meski sembilan Hijriyah berlalu sudah,

Kau Ayah,

Terus membayangi langkah kami dalam kerinduan tak bertepi

Biar kubisikkan padamu wahai peneduh jiwa,

”Di sini kami hidup bahagia selayaknya mereka”

Dan kaulah teladan bagi kami yang tak pernah menyerah

Mengubah segala susah menjadi indah
.
.
.
.
.
[Malang Dec 17 2009]
.
Remembering my beloved one,
my late Dad,
my everything!
Peace be upon you, AMEN

NOVEMBER

Duhai Rabku sang pelipur lara

Damai yang kulumat saat Kau dekat

Dalam sujud panjang syukur kuluapkan

Bening hati yang kurasakan,

Nyaris melayang tuk gapai Tsurraya

Sayapku tak lagi retak

Terbang lepas tinggalkan gerhana

Jiwaku tak lagi rapuh

Meski pangeranku tak lagi bertahta

Birunya November saat itu

Mengkoyak moyak lunglai tubuhku

Perih,

Lara tak terperi

Menciptakan telaga asin oleh airmata

Dan hatiku remuk dibuatnya

Wahai pangeran yang pernah kupuja

Aku bukan lagi padusi dalam bingkai usang seorang hawa

Bukan pula medusa yang memaku pada beku purba tanpa nyawa

Sebab takdir ini telah mengubahku

Seirama dentang jam dengan tangkai-tangkai yang merayap pada tembok waktu

Yang mendewasakanku dalam ruang duka

Dan menempa beku tubuhku dalam nyala bara

Terus meliuk tanpa jeda

Tanpa kesah,

Pun tawa,

Melainkan ia mengkristal,

Biaskan aura pada fana dunia,

Yang meluruhkan enigma cinta pada seorang lelaki tanpa nama

Menguatkan hati tuk bertahan,

Menghapus ingatan akan pangeran

Menyisakan serpihan citra dalam bejana

Hingga lautan tawar oleh asanya,

Dan dalam diam kupahat langit-langit perapian

"Biarkan aku lepas mengejar nirwana"

Terbang tinggi dengan sayap ini

Malaikat kan menemani

Meretas lara menuang puisi

Merentang ikhlas tuk lepas bebas dari pangeran pendusta

Hingga Rabku semata yang kupuja

Yang mengalirkan rindu dalam nadiku

Dan tanpa pangeranku,

AKU MAMPU

……

BANGKITKU

Dan pd Rama yang kupuja,
Saat kurapuh
Pelan ia menjauh
Tapi Tuhan tak begitu
KasihNya meluap penuh
Hingga gegap tawaku
Adalah tawa Shinta yg lumat dalam airmata
Duhai!
Tak ada yg terindah atas kisahku,
ketika cintaNya mampu meretas semua lara
biaskan semua mimpi laksa gradasi memoles pelangi

FLAKTUASI

Saat terjaga,
aku terasing diantara bising roda kehidupan yg terus meronta
Semuanya tak lagi sama,
sebab Kebencian, luka, rindu, renjana dan bara liat pekat menghantuiku
Pun,
Aku tak pernah menyesalinya
Melewati hari yg tersisa dg luap senyum dan tawa
Meski penat sungguh melumatku dalam beku yang menggigil
Tak kan kubiarkan ragaku mengejar Matahari
tak akan!

REMUK

Aku di persimpangan Jalan
Antara ragu dan ketidakpastian
Tak tahu arah,
kemana kakiku melangkah
Dan jika memang harus aku melawan arus
Mampukah ku bertahan laksa kaktus?
Sebab kini aku remuk
Menyisakan amuk
Menelan pahitnya lumer empedu yg kau sebut madu!

MERINDUKAN BUNDA

Rindu aku,
Rindu pada senyummu
Yang kau kirim lewat lusuh kertas tak bertinta
Memberi nafas atas ragaku tuk bertahan dari kejam semesta
Dan rindu aku,
Rindu pada senyummu
Pada seseorang yg mencintaiku lebih dr nyawanya
Sungguh rindu aku,
Rindu pada senyummu
pada seorang wanita yang ku panggil Bunda
Sungguh rindu aku

Amukku di Muka

Aku tak PEDULI,
meski sungguh kalap kau koyak moyak kebahagiaan hidup atas ragaku
Tak kan pernah!
Pun,
dengan pongah tanpa susah,
mungkin saja kau bisa hancurkan SEGALA apa yang ku PUNYA yang ku CINTA
Tapi TIDAK dengan MIMPI-ku
Tidak akan pernah!

SELALU

Selalu saja begitu,
Mendapatimu, dia dan juga ribuan LELAKI lainnya
Mencintai rapuh ragaku dg ketidakpastian,
Dan selalu saja begitu,
Mendapatimu, dia dan juga ribuan LELAKI lainnya
Menjanjikan wangi sorga dg mulut penuh busa,
Duhai!
Adakah yang lebih berarti?
Untuk sekedar Mengerti,
Bahwa sejatinya aku, dia, dan selayaknya tiap tiap WANODYA,
Tak pernah butuh CINTA
melainkan dg keniscayaan,
Tak Pernah!!

MALAS

Pongah sekali kau hr ini "MALAS"!!
Merajai ragaku
yang terkapar tanpa beban pun hrapan
"KRIING" Jam beker berdering,
05:00 tepat saat mentari beranjak pergi
Dan MALAS-ku kian erat mengikat,
"BRAAAK" Kalendar dinding Jatuh, 09-09-2009
Terserak hari ini dg sia-sia
Sungguh MALAS-ku malas Durjana,
melumat gairah, membuatnya rebah!!
Hingga ku lupa kobarnya api,
lupa pd jejak Kartini
Ah, Tuhan!
Aku mau Kau bunuh MALAS-ku

DIAM

Sekedar bilang
Seharusnya kau tahu,
aku BUKAN batu Andesit yang merindukan sepoi angin kerna terjal ragaku,
BUKAN pula pongah sang karang,
yg dengan percik air kau mampu luruhkan cadasku
Sungguh BUKAN,
Sebab adalah aku yg selalu saja meneriakan riak ”DIAM” pada rasa yg kau sebut ’CINTA’
Dan, ah,
DIAM-lah cinta,
DIAM
Sebab hadirmu meretas ilusi,
mengigatkanq pada Sang Gibran yg menelan Puisi
DIAM
-Tanpa titik pun koma-

SEPERTI

Merindukannya..
Seperti Matahari yang merindukan wangi Bunga di musim dingin!

TENTANG KITA

Fajar menggeliat penat membangunkan tidurku,
Menyisakan perih
Dan memaksaku menuliskan larik-larik paling sedih
Aku tak lagi mencintainya,
itu pasti
tapi bagaimana bisa dulu aku begitu kepayang?
Seperti kemarin,
pagi mengaburkan deretan Kamboja di ujung jalan
Namun tidak pada kami,
yang kini tak lagi sama
Cinta ini begitu singkat melupakannya begitu lama
Ini adalah kepedihan terakhir yang dia torehkan padaku
Dan ini adalah sajak terakhir yg ku tulis untuknya

RED VELVET

Twenty-three years been taken,
How many days are left?!
Giving me the gap to see the heaven,
Yet, it ain’t painless to be guest

Well, can’t I turn my clad back?!
For my road’s still in black
Then, where the red has gone?!
Remains me wait alone

My Oh my..
Can’t I still fly by?!
With these broken wings I’ve,
Flinging me down as a slave

It was April 24th that day’s killed by
Staring an ox was about to die
Curving the red note on Wednesday
And word by word’s just a white lie

Plugging the fragile thought with the wicked things
Where the honesty has gone? Say, I’m dying for those sweet tidings
And I’m creeping, caught in aplomb
And In helpless fading, tangled in womb

Being red velvet I used to be
Not born loser I was gonna be
I know the dove wouldn’t cease soaring still
Either crossing the marine or clambering the hill

Lemme shriek, my friend
I’m a chick with a chap’s soul
Burning the yen to an end
Getting rid of any thing that’s foul

When 23 revolutions have been done
I’m shade dying for hardly breathing
Find my corpse’s remained bone
Undone my heart with fire flaring

Oh…Lord please, nothing I ask for
But Your wings as the rest to lean on
Escorting this hopeless core
Giving the gaiety on and on

And if the choice is what You have
Being the red velvet’s all what I want to
Facing the globe like the stone cave
Start moving to let my dreams come true



(Edited Blue Dew, 24-04-2009)

ODE OF OCTUPUS

Aku telah menghapusnya

Sebab aku tak lagi mau,

Merasakan sakit yang sama

Pengharapan semu,

Seputih serpih salju yang meluruh

Saat rapuh tanganku menggenggamnya penuh

Gurita,

Pada penciptanya aku memuja
.
.
(Dead April 242009)

PADA MALAM

Malam dan desau angin yg membuatnya cekam
Sampaikan salamku padanya
Pada sepenggal nyawa,
yang namanya lekat dalam tiap tarikan nafas yang ku hempas
Bisikan pekat kalimat dari relung hatiku
Bahwa merah jantungku masih saja ngilu,
saat melukis senyumnya dalam kelu
Hingga mengingatnya adalah onak bagi ragaku
Dan,
Jika masih saja ia tak mengerti
Biar ku cecap sndiri perih ini
seiring putaran WAKTU yg kan mengobati,
BIAR!

BUNDA

Kering tanah menyapa pelan

Pada Bunda yang berteman letih

Wajah liat dalam terik mentari
Bermandi peluh demi empat nyawa

Liar ilalang turut bicara
Pada Bunda yang berselimut sepi

Tangan ringkih penuh luka

Menopang beban yang menikam

Bergelut dengan buas kehidupan yang berliku

Demi cita anakmu yang menjulang

Pekat malam berbisik pilu
Pada Bunda yang terisak di sudut temaram

Tenggelam dalam sajadah lusuh

Dalam doa dan sujud panjang

Merayap renta dalam kesendirian

Hembus angin membawa kabar

Pada Bunda yang dibalut rindu

Tentang anaknya di tanah sebrang

Membelah langit tuk kembali pulang

Membawa kerlip bintang dan sejuta harapan

Mata sayumu berbinar

Menyiratkan bahagia yang terpendar

Penat itu tak lagi kau rasakan

Menguap laksa hujan menyapu awan
.
.

(Teriring salam kepada jutaan bunda yang tetap tegar dalam bingkai terjal kehidupan…
And 2my beloved Mom, I don’t know how 2thank…T_T
2tell you the truth…How much I’m proud of U.. 21082008)

NAIF

Sungguh cinta aku,

cinta atas ragamu bukan karna SEBAB atau KERNA

Melainkan atas dasar MESKIPUN tanpa hadirnya titik pun koma

MESKI lelah sungguh tuk mengerti laku dan tuturmu,

aku mencintaimu

Dan bukan SEBAB indah senyummu yang mampu lumerkan beku purba tanpa nyawa!

Atau KERNA penuh pundimu dengan bulir zamrud dari taman surga

Sungguh aku mencintaimu,

MESKI laksa mengharap kaki hujan di kemarau tak berjeda

Ah MESKIPUN
MESKI!!!
MES
KI…
MES
KI…
MES
KI…
MES
KI…
MES
KI…
di MESKI…
PUN,

Selamanya aku mencintaimu!!

(Malang 14 June 2009)

Sajak Chairil Anwar

Dan,
Dalam bias bulan tak bertuan,
Kau bacakan penggal puisi tentang kisah klise kehidupan
Pekat nikmat kusantap kata dari penyair Pribumi yang kau sebut Nabi,
Tentang sabdanya yang memaku pada beku nafasku
Saat gerimis melukis, dia menulis:
“Sekali berarti, sesudah itu mati”
Dusta!
Jeritmu meliar gila!
Duhai,
Atas dasar apa logikamu menyalak galak?!
Sebab fana dunia memang tak pernah bisa kau tolak!
.
.
.
(Chairil Anwar's Lover, Malang 2nd of June '09)

Kidung Pemilu 2009

Padamu tanah air
Pada gundahku tiada akhir
.
.
Saat fajar memudar,
Dentang Pemilu memanggil sayu
Dan gundahku kian meronta untuk bicara
Pada April yang menoreh tinta-tinta harapan di ujung jari tiap-tiap nyawa
Wahai!
Sembilanmu itukah yang kan mampu merajut indah tanah airku?
Memberikan bias lentera pada mereka yang tertindas lara
Merengkuh bayi-bayi yang terkapar suram ditanah temaram Ibu pertiwiku
Dan menebarkan binar logika bagi jutaan raga yang terlelap pendar mimpinya
Ah April,
Sungguh larutku larut seperti mereka pada gegap Pemilu yang menjual mimpi dari taman Surga
Dan ketika senja menyapa, soraknya pun perlahan mereda
Surut,
Menyisakan pintalan benang kusut
Lalu lusa?
Akankah masih saja laksa yang lalu?
Indonesia kita yang sarat dengan luap luka dan tangis pilu?
Duhai,
Adakah yang lebih berarti dari sekedar memilih?
Dalam bingkai Demokrasi yang mereka sebut Pemilu,
Sebab yang ada hanyalah janji yang tak kunjung pasti
Dari penguasa tiran yang meretas egonya dengan kedok palsu
RACUN,
Bagi rakyatnya yang haus MADU dari kolam susu,
Bukan yang lain!
.
.
.
.
.
(Malang 12 April 2009)

AKU

AKU,
Aku adalah padat Daging berlumur darah…
Mengemis pada merah jantung yang terpendar memberi kehidupan fana daLam lingkup hawa…
Dan aku hanyalah bongkahan nyawa esa yang menantikan Kematian sebab biasa…
Laksa tirani sang Qobil yang membuat Habil binasa…
Samar…
Bersulam Enigma Mayapada
Namun Bukan aku terkapar lelap meratap pada nasib yang sarat luka..
Duhai!
Aku adalah raga yang menghamba pada pencipta nyala Renin
Bukan Beku menhir yang lekang dalam ceruk waKtu
Melainkan sang alkemis yang menatap nestapa dengan binar aura
Dan bukan aku merintih pada geLap semesta yang membalut nyata dengan ilusi…
Bukan pula sang Cleopatra yang merajam Jiwa dengan renjana
Pekat…
Mengeruhkan Bening telaga…
Sungguh bukan,
Dan selamanya aku bukan,
Bukan puLa,
melainkan aku adaLah aku,
karena aku,
AKU…
.
.
.

SELAMAT HARI IBU

Heranku meregup pikiran saat merekah mulut-mulut mereka,

lalu berkata: ”Selamat Hari Ibu”

Itu saja,

Tanpa perlu mencecap maknanya

Tanpa perlu memindai pesan dibaliknya

Tanpa perlu!

Dan mirisku meyesak kalbu,

menyaksikan wajah-wajah sumringah

Saat terekam hitungan pada kalender: ”Desember dua-dua”

Lalu apa?

Mereka bilang hari ini hari Ibu,

Saatnya mengenang genang pengorbanan tiap-tiap Bunda

Untuk semua luka, semua lara

Dan mereka bilang hari ini hari Ibu,

Waktunya berkaca pada beningnya hati seorang Bunda

Yang pantang berkeluh kesah saat susah menyapa,

melainkan dengan binar sabar, dengan derap doa

Namun jika benar ini hari, hari Ibu

Lantas kemana retas tiga ratus enam puluh empat lainnya,

K-E-M-A-N-A?

Adakah ia tercecer pada buram sketsa kehidupan

Saat menyaksikan ringkih Ibu tua

Menantang panas mentari demi sesuap nasi

Atau pada naifnya para Ibu muda

yang pd bibirnya berhias gincu

Bercumbu dengan liar malam demi sekaleng susu

Ah,

Andai sanggup ku lukis segala pengorbanan seorang Bunda

Dan sanggup ku tulis segenap tulus kasihnya

Sungguh tak mampu ku kenang ia dalam satu hari saja

Melainkan tiga ratus enam-puluh lima hari tanpa sisa

Seiring bening cintanya yang tak berjeda

Selayaknya sinar sang surya pada bentang semesta
.
.
.
.
.
[Malang, Desember dua-satu, 2009 >> Lima jam terpanjangku u/ menuliskan puisi tentang Ibu, u/ mengucapkan: SELAMAT HARI IBU>> Untuk hari ini dan seterusnya! ]