Heranku meregup pikiran saat merekah mulut-mulut mereka,
lalu berkata: ”Selamat Hari Ibu”
Itu saja,
Tanpa perlu mencecap maknanya
Tanpa perlu memindai pesan dibaliknya
Tanpa perlu!
Dan mirisku meyesak kalbu,
menyaksikan wajah-wajah sumringah
Saat terekam hitungan pada kalender: ”Desember dua-dua”
Lalu apa?
Mereka bilang hari ini hari Ibu,
Saatnya mengenang genang pengorbanan tiap-tiap Bunda
Untuk semua luka, semua lara
Dan mereka bilang hari ini hari Ibu,
Waktunya berkaca pada beningnya hati seorang Bunda
Yang pantang berkeluh kesah saat susah menyapa,
melainkan dengan binar sabar, dengan derap doa
Namun jika benar ini hari, hari Ibu
Lantas kemana retas tiga ratus enam puluh empat lainnya,
K-E-M-A-N-A?
Adakah ia tercecer pada buram sketsa kehidupan
Saat menyaksikan ringkih Ibu tua
Menantang panas mentari demi sesuap nasi
Atau pada naifnya para Ibu muda
yang pd bibirnya berhias gincu
Bercumbu dengan liar malam demi sekaleng susu
Ah,
Andai sanggup ku lukis segala pengorbanan seorang Bunda
Dan sanggup ku tulis segenap tulus kasihnya
Sungguh tak mampu ku kenang ia dalam satu hari saja
Melainkan tiga ratus enam-puluh lima hari tanpa sisa
Seiring bening cintanya yang tak berjeda
Selayaknya sinar sang surya pada bentang semesta
.
.
.
.
.
[Malang, Desember dua-satu, 2009 >> Lima jam terpanjangku u/ menuliskan puisi tentang Ibu, u/ mengucapkan: SELAMAT HARI IBU>> Untuk hari ini dan seterusnya! ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar